Sabtu, 22 Januari 2011

Model Keislaman Abu Bakar

Sebelum Muhammad saw. mendapat wahyu kenabian, hiduplah beberapa tokoh "spritual". Tiga diantaranya adalah Qass bin Sa'idah al Iyadi, Zain bin Amru bin Nufail, dan Waraqah bin Nufail. Kendati kala itu kultur jahilian Arab sangat dominan, namun dengan modal "warisan sisa-sisa agama Ibrahim" yang hanif, ketiganya mampu menjaga rasionalitas yang lurus, melestarikan jiwa yang bersih, hati yang luhur dan nurani yang penuh hikmah. Dengan modal yang serba minim itu, mereka mampu menghidari penyembahan berhala, batu bikinan manusia. Dengan warisan hikmah yang pas-pasan itu mereka masih sempat tak ikut-ikutan membunuh bayi perempuan, yang kala itu dianggap perlambang kesialan.

Kepada mereka bertigalah seorang anak manusia bernama Atiq bersohib akrab. Dapat dipahami pula jika ruhaniah Atiq menjadi ikut terpelihara, akal pikiran Atiq senantiasa terasah, selalu mempu menegasi kultur jahiliah kaumnya. Setiap kali dia melihat tetangga kiri kanannya berlutut kepada berhala, nurani Atiq langsung bertanya, "Mungkinkah ini suatu kebenaran? Orang-orang yang dapat melihat, mendengar, berbicara, apa lagi berpikir."

Di tengah kegundahan itu pula, Atiq acapkali ngeloyor meninggalkan penghamba patung sambil bergumam sedih, lirih, "Apakah Tuhan yang tunggal, ataukah seribu Tahun yang disembah kaum jahiliyah Arab yang harus diikuti jika urusan-urusannya terbagi-bagi?"

Dialah Atiq seorang penghamba Tuhan, tetapi bukan sembarang Tuhan. Dialah Atiq seorang penyembah Tuhan, tetapi bukan karena keturunan, melainkan berdasar keyakinan yang rasional. Dialah Atiq yang pada akhirnya menjadi salah satu orang pertama yang dibaiat Nabi Muhammad saw sebagai pemeluk Islam, agama Tauhid, Din (tatanan) Ilahi  yang mengajarkan adanya Satu Tuhan. Satu dalam Dzat-Nya, satu dalam Sifat-Nya, persis seperti yang selama ini telah dia renungkan. Siapa dia? Dialah Abu Bakar As Shidiq.

Sumber: Dhurorudin Mashad, Kisah dan Hikmah 1, Jakarta: Erlangga, hal. 1-5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar