Minggu, 30 Januari 2011

Tafsir Surat An-Nas

Bismilllahir Rahmannir Rahim

Allah berfirman:

(yang terjemahannya)

Katakanlah: "Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahataan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia."      (QS. Annas: 1-6)

Surat ini mengandung permohonan perlindungan kepada Rabb manusia, Raja dan sesembahan mereka; dari kejahatan syetan yang pada dasarnya memang jahat sekali seluruh materi tubuhnya. Di antara kejahatan dan godaan syetan adalah selalu membisikkan godaan ke dalam hati manusia, sehingga yang buruk tampak baik. Syetan memperlihatkan kepada mereka keburukan itu kemasan yang indah sehingga memompa hasrat mereka untuk melakukannya. Sebaliknya syetan  memperlihatkan kebaikan sebagai sesuatu yang buruk, dan melemahkan hasrat mereka untuk melakukannya. Ia memperlihatkan kepada mereka dalam tampilan yang berbeda. Dengan cara itu setan selalu berusaha mengganggu manusia dan bersembunyi bila seorang hamba mengingat Allah dan meminta pertolongan untuk melenyapkannya.

Oleh sebab itu, seyogyanya seorang hamba memohon perlindungan kepada Allah dan berpegang pada rububiyyah Allah terhadap seluruh manusia. Bahkan sebenarnya seluruh makhluk termasuk dalam kekuasaan dan rububiyyah  Allah. Allah memegang ubun-ubun setiap makhluk hidup yang berjalan di muka bumi.

Juga berlindung kepada uluhiyyah Allah yang menjadi tujuan mereka diciptakan. Uluhiyyah atau peribadatan kepada Allah itu hanya sempurna dengan mengenyahkan musuh-musuh mereka yang memang ingin merenggut peribadatan itu dari mereka, atau setidaknya menghalangi mereka untuk melakukannya. Ia ingin menjadikan mereka sebagai bala tentaranya, sehingga sama-sama menjadi penghuni Naar as-Sa'ir. Waswas atau makhluk pengganngu itu bisa berasal dari kalangan jin dan manusia. Oleh sebab itu Allah berfirman: (minal jinnati wann nas) == "dari jin dan manusia" (QS. An Nas: 6)

Semoga kita menjadi orang-orang yang dilindungi Allah dari godaan-godaan yang membuat kita was-was dalam beribadah kepada Allah swt. 




Sumber : Abdurrahman bin Nashir As Sa'diy, Tafsir Juz Amma, Pustaka Tibyan, hal: 238-239

Sabtu, 22 Januari 2011

Model Keislaman Abu Bakar

Sebelum Muhammad saw. mendapat wahyu kenabian, hiduplah beberapa tokoh "spritual". Tiga diantaranya adalah Qass bin Sa'idah al Iyadi, Zain bin Amru bin Nufail, dan Waraqah bin Nufail. Kendati kala itu kultur jahilian Arab sangat dominan, namun dengan modal "warisan sisa-sisa agama Ibrahim" yang hanif, ketiganya mampu menjaga rasionalitas yang lurus, melestarikan jiwa yang bersih, hati yang luhur dan nurani yang penuh hikmah. Dengan modal yang serba minim itu, mereka mampu menghidari penyembahan berhala, batu bikinan manusia. Dengan warisan hikmah yang pas-pasan itu mereka masih sempat tak ikut-ikutan membunuh bayi perempuan, yang kala itu dianggap perlambang kesialan.

Kepada mereka bertigalah seorang anak manusia bernama Atiq bersohib akrab. Dapat dipahami pula jika ruhaniah Atiq menjadi ikut terpelihara, akal pikiran Atiq senantiasa terasah, selalu mempu menegasi kultur jahiliah kaumnya. Setiap kali dia melihat tetangga kiri kanannya berlutut kepada berhala, nurani Atiq langsung bertanya, "Mungkinkah ini suatu kebenaran? Orang-orang yang dapat melihat, mendengar, berbicara, apa lagi berpikir."

Di tengah kegundahan itu pula, Atiq acapkali ngeloyor meninggalkan penghamba patung sambil bergumam sedih, lirih, "Apakah Tuhan yang tunggal, ataukah seribu Tahun yang disembah kaum jahiliyah Arab yang harus diikuti jika urusan-urusannya terbagi-bagi?"

Dialah Atiq seorang penghamba Tuhan, tetapi bukan sembarang Tuhan. Dialah Atiq seorang penyembah Tuhan, tetapi bukan karena keturunan, melainkan berdasar keyakinan yang rasional. Dialah Atiq yang pada akhirnya menjadi salah satu orang pertama yang dibaiat Nabi Muhammad saw sebagai pemeluk Islam, agama Tauhid, Din (tatanan) Ilahi  yang mengajarkan adanya Satu Tuhan. Satu dalam Dzat-Nya, satu dalam Sifat-Nya, persis seperti yang selama ini telah dia renungkan. Siapa dia? Dialah Abu Bakar As Shidiq.

Sumber: Dhurorudin Mashad, Kisah dan Hikmah 1, Jakarta: Erlangga, hal. 1-5)

Selasa, 18 Januari 2011

Takwa

"Takwa kepada Allah adalah poros segala kebahagiaan. Sedang mengikuti hawa nafsu inti saluran kejelekan"
(Syaikh Zaenudin bin Ali Al Mi'bari)

Takwa
Kata "taqwa" merupakan bentuk masdar (kata jadian) dari kata "waqa" yang berarti menghalangi diri dari segala hasrat biologis (syahwat). Ahmad Al Hijazi daalam kita Tuhfatul Khawash menyatakan bahwa secara etimologi takwa berarti menjauhkan diri dari segala sesuatu yang membahayakan agama dan dunia. 
Dalam isitilah syara', takwa berarti menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan, khusunya menjauhi hal-hal yang syubhat, lebih-lebih yang haram. Takwa merupakan tameng tameng diri dari perbuatan maksiat, dalam bentuk energi tekad kuat ('azimah) untuk meninggalkan dan menghadirkan pengetahuan tentang kejelekan perbuatan dosa. 

Sebagian ulama merumuskan arti takwa dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya lahir dan batin disertai dengan perasaan akan keagungan Allah dan kewibawaan-Nya, serta merasa takut terputus rahmat (khasyah) dan takut atas keagungan-Nya (haibah). 
Ada juga ulama yang menyatakan bahwa yang disebut dengan orang yang bertakwa ialah orang yang menjauhi segala sesuatu selain Allah. Ada juga yang menyatakan bahwa orang yang ingin ketakwaannya baik, hendaklah meninggalkan seluruh dosa. 

Nusranazi menyatakan, "Orang yang terus menerus bertakwa, ia akan merasa rindu berpisah dengan dunia, oleh sebab Allah berfirman, "Sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagi ornag-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak berpikir? (Q.S. Al An-'am: 32) 

Abu Abdillah Haris bin Asad Al Muhasibi berpendapat bahwa takwa ialah menjauhkan diri dari sesuatu yang membuatmu jauh dari Allah. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa takwa ialah menjalankan ketaatan kepada Allah atas cahaya dari-Nya disertai dengan rasa takut akan siksa-Nya.

Takwa kepada Allah, baik dalam keadaan penyendirian maupun dalam keramaian manusia merupakan faktor penyebab tergapainya kebahagiaan dunia dan akhirat, karena takwa merupakan bekal hidup manusia di dunia dan akhirat, pangkal yang menghimpun segala kebaikannya serta poros dan asas segala kebahagiaan. Karena itu, apapun yang dibangun di atasnya, sepanjang masa, ia tidak akan roboh. Yang dimaksud dengan kebahagiaan di sini adalah taufiq, hidayah dan pertolongan Allah bagi hamba-Nya. Alangkah indahnya apa yang dilukiskan sebagian ulama dalam bait syair berikut: 
"Bila anda pergi tanpa bekal takwa, 
Maka setelah kematian tiada bekal selainnya."

Intinya bahwa seseorang tidak akan memperoleh kebaikan dunia dan akhirat selain dengan takwa. Begitu juga ia tidak akan dapat menghindari kejelekan dunia dan akhirat selain dengan takwa. 
Selain hal-hal tersebut, takwa juga merupakan wasiat Allah bagi orang-orang terdahulu dan terakhir. Ia berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi Al Kitab sebelummu dan juga kepadamu agar bertakwa kepada Allah" (Q.S. An Nisa: 131).

Berapa banyak kebaikan dan faidah yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang bertakwa, antara lain: 
  1. Allah adalah penyerta bagi orang yang bertakwa. (lihat Q.S At-Taubah : 36)
  2. Dianugerahi ilmu laduni (lihat QS. Al Baqarah : 282) 
  3. Selamat dari api neraka (lihat QS Maryam: 72) 
  4. Diberi jalan keluar dari segala kesulitan (lihat QS. At Thalaq: 2-3, 5)
  5. Dijanjikan surga (lihat QS. Qamar: 54)
  6. Diberi kemuliaan (lihat QS. Al Hujarat: 13) 
Memang sangat banyak kebajikan, kabahagiaan dan derajat yang tinggi yang dijanjikan oleh Allah  dan Rasul-Nya bagi orang-orang yang bertakwa.

Ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang benar-benar bertakwa dan tetapkanlah kami dalam keislaman yang utuh. Amin ya Rabbal 'alamin.

Sumber: dikutip dari Syaikh Zaenudin Ali Al Mi'bari Al Malibari, Metode Revolusi Menuju Negeri Akhirat, Diterjemahkan oleh: H.M Hilman, Jakarta: Kalam Mulia, 2004, hal. 1-4

Jumat, 14 Januari 2011

Pendidikan Islami dan Fungsi Manusia Sebagai Khalifatullah

Manusia adalah salah satu jenis makhluk Allah swt. tercipta dengan bentuk yang terlengkap, mempunyai jiwa, raga, akal dan pikiran. Dapat dijelaskan dengan pernyataan sebagai makhluk hidup yang berbadan tegak, emosinya selalu berubah, mempunyai daya nalar dan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan lisan serta banyak lagi. 

Dalam proses penciptaannya di dalam Al Qur'an disebutkan sebelumnya terjadi dialog antara Allah swt. dengan para malaikat. Hal ini dapat kita baca dalam Q.S Al Baqoroh (2): 30 yaitu:(artinya)
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." 

Dalam ayat itu digambarkan betapa herannya malaikat akan kehendak Allah swt. yang akan mengangkat penguasa di bumi yaitu manusia. 

Tetapi berkat pendidikan yang telah Allah sampaikan kepada manusia yang terwakilkan atas diri Adam as. protes itu tidak berkelanjutan. dengan pengenalan terhadap nama benda dan keadaan dan keistimewaan yang ditunjukkan oleh Adam as. kepada malaikat, menjawab keraguan yang telah ditampakkan oleh malaikat. 

Sementara itu bagi manusia, dalam pelaksanaan tugasnya sebagai khalifatullah di muka bumi ini, sering disebut dalam al-Qur'an dengan perkataan "Basyaar". Ungkapan itu ditujukan pada manusia yang dalam pelaksanaan fungsinya itu lebih ditujukan kepada aktifitas yang bersifat lahiriah, seperti makan, minum, tidur bersetubuh dan lain sebagainya. 

Selain memakai sebutan Basyar itu, manusia juga tidak jarang disebut sebagai "insan". Hal itu dikarenakan manusia juga melakukan aktifitas yang bersifat kerohaniahan. Aktifitas yang bisa berupa kegiatan belajar, berfikir, berzikir dan sebagainya. Lebih lanjut dalam segi kedudukannya manusia menyandang gelar sebagai "Abdullah" dengan tugas menyembah dan mengabdi kepada Allah swt. sebagaimana al-Qur'an surat adz-Dzariyat (51) ayat 56 yang menyatakan "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku"

Dan juga mendapatkan gelar dalam memerankan tugasnya di muka bumi dengan seutan sebagai "khalifatullah". Tugas yang harus dijalankan adalah mengelola alam dunia ini untuk kepentingan (kemakmuran) diri sebagai bekal menggapai kebahagiaan akhirat kelak. 

Dengan menyandang dua gelar sebagai Abdullah dan sebagai Khalifatullah itu, manusia dituntut untuk selalu berjuang dan berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan berbagai cara yang melibatkan seluruh potensi dirinya. Dengan itu akan menghasilkan adanya peradaban dan kebudayaan yang bermanfaat. Ini menunjukkan bahwa dalam hidup, manusia harus mampu tampil sebagai makhluk individual dan sosial. karenanya perlu keseimbangan antara keduanya dalam bentuk moral yang teraktualisasikan dalam wujyud akhlaq.

Untuk membekali manusia agar dapat mencapai akhlak yang baik, perlu kirnaya diberikan satu bimbingan dan pembelajaran yang kontinu dan terarah. Untuk itulah perlu adanya "Pendidikan" bagi manusia secara utuh. 

Pendidikan utuh yang dimaksudkan adalah pendidikan yang diberikan kepada manusia yang tidak hanya menekankan pada aspek duniawi saja tetapi juga aspek ukhrowi juga atau pendidikan lahir dan batin. Dengan pendidikan yang baik itulah pada akhirnya menjadikan manusia dapat berhasil memfungsikan dirinya dalam mengemban tugas sebagai khalifah di bumi.

Nasab (Ringkas) Nabi Muhammad saw.

Beliau adalah Muhammad bin 'Abdullah bin 'Abdul Muthalib bin Hasyim bin 'Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin 'Adnan. Nasabnya sampai kepada Isma'il bin al Khalil Ibrahim 'alaihimas-salam.

Sumber: Sayyid Muhammad bin 'Alawi Al Maliki, Buku Pintar Sejarah Nabi Muhammad SAW, Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. II, 2007, Hal. 19