Rabu, 15 Agustus 2012

TUNTUNAN ZAKAT FITHRI

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al Atsari

Islam adalah agama agung yang telah diridhai oleh Allah Azza wa Jalla untuk manusia. Dengan rahmatNya, Allah telah menetapkan dua hari raya bagi umat ini setiap tahunnya. Dua hari raya tersebut mengiringi dua rukun Islam yang besar. ‘Idul Adh-ha mengiringi ibadah haji, dan ‘Idul Fithri mengiringi ibadah puasa Ramadhan.
Karena di dalam melakukan ibadah puasa, seorang muslim sering melakukan perkara yang dapat mengurangi nilai puasa, maka dengan hikmahNya, Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan zakat fithri untuk lebih menyempurnakan puasanya. Oleh karena itulah, sangat penting bagi kita untuk memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan zakat fithri. Semoga pembahasan ringkas ini dapat menjadi sumbangan bagi kaum muslimin dalam menjalankan ibadah ini.
MAKNA ZAKAT FITHRI
Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa Ramadhan.[1]
HIKMAH ZAKAT FITHRI
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”.[2]
HUKUM ZAKAT FITHRI
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian ulama beranggapan, kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan tidak shahih dan sharih (jelas).[3]
Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang kewajiban zakat fithri ini. Beliau t berkata,”Telah bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah fithri wajib [4]. Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.
SIAPA YANG WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI?
Zakat fithri wajib bagi setiap muslim, kaya atau miskin, yang mampu menunaikannya. Sehingga syarat wajib zakat fithri dua: (1) Islam dan (2) Mampu.
Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah diwajibkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
“Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)” [5].
Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.[al Baqarah/2:286].
Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّارِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَا الْغِنَى الَّذِي لَا تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ- قَالَ: ((قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ-
“Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan semalam” atau “semalam dan sehari”. [HR Abu Dawud, no. 1629. dishahihkan oleh Syaikh al Albani].[6]
Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَصَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى
“Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan”.[7]
Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta, seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah dijelaskan. Wallahu a’lam.[8]
BAGAIMANA DENGAN JANIN?
Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?
Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin, menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.[9]
Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut ibunya”.[10]
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata : “Yang nampak bagiku, jika kita mengatakan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin, maka zakat itu hanyalah dikeluarkan bagi janin yang telah ditiupkan ruh padanya. Sedangkan ruh, belum ditiupkan kecuali setelah empat bulan”.
Beliau juga berkata: “Dalil disukainya mengeluarkan zakat fithri bagi janin, diriwayatkan dari ‘Utsman Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau mengeluarkan zakat fithri bagi janin [11]. Jika tidak, maka tentang hal ini tidak ada Sunnah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi wajib kita ketahui, ‘Utsman adalah salah satu dari Khulafaur-Rasyidin, yang kita diperintahkan untuk mengikuti Sunnah mereka”.[12]
Dari penjelasan ini kita mengetahui, disunahkan bagi orang tua untuk membayar zakat fithri bagi janin yang sudah berumur empat bulan dalam kandungan, wallahu a’lam.
SUAMI MEMBAYAR ZAKAT FITHRI DARI DIRINYA DAN ORANG-ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANNYA
Para ulama berbeda pendapat, apakah setiap orang wajib membayar zakat fithri dari dirinya sendiri, sehingga seorang isteri juga wajib membayar zakat bagi dirinya sendiri, atau seorang suami menanggung seluruh anggota keluarganya?[13]
Pendapat Pertama.
Suami wajib membayar zakat fithri bagi dirinya dan orang-orang yang dia tanggung. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Dengan dalil, bahwa suami wajib menanggung nafkah isteri dan keluarganya, maka dia juga membayarkan zakat fithri untuk mereka. Juga berdasarkan hadits :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْعَبْدِ مِمَّنْ تُمَوِّنُوْنَ
“Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan shadaqah fithri dari anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan budak, dari orang-orang yang kamu tanggung”. [Hadits hasan. Lihat Irwa-ul Ghalil, no. 835].[14]
Pendapat Kedua.
Sebagian ulama (Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin) berpendapat, seorang isteri membayar zakat fithri sendiri, dengan dalil:
1. Hadits Ibnu Umar :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam”. [HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984].
Ini menunjukkan, bahwa zakat fithri merupakan kewajiban tiap-tiap orang pada dirinya. Dan dalam hadits ini disebutkan “wanita”, sehingga dia wajib membayar zakat fithri bagi dirinya, baik sudah bersuami ataupun belum bersuami.
Tetapi pendapat ini dibantah : Bahwa disebutkan “wanita”, tidak berarti dia wajib membayar zakat fithrah bagi dirinya. Karena di dalam hadits itu, juga disebutkan budak dan anak kecil. Dalam masalah ini sudah dimaklumi, jika keduanya ditanggung oleh tuannya dan orang tuanya. Demikian juga para sahabat membayar zakat fithri untuk janin di dalam perut ibunya. Apalagi sudah ada hadits yang menjelaskan, bahwa suami membayar zakat fithri bagi orang-orang yang dia tanggung.
2. Yang asal, kewajiban ibadah itu atas tiap-tiap orang, tidak ditanggung orang lain. Allah berfirman:
“Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. [al An’aam/6 : 164].
Maka seandainya zakat fithri wajib atas diri seseorang dan orang-orang yang dia tanggung, berarti seorang yang memikul beban (berdosa) akan memikul beban (dosa) orang lain.
Tetapi pendapat ini dibantah : Ini seperti seorang suami yang menanggung nafkah orang-orang yang dia tanggung. Dan setelah hadits yang memberitakan hal itu sah, maka wajib diterima, tidak boleh dipertentangkan dengan ayat al Qur`an ini, atau yang lainnya. Dari keterangan ini jelaslah, bahwa pendapat jumhur lebih kuat. Wallahu a’lam.
BENTUKNYA
Yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah keumuman makanan pokok di daerah yang ditempati orang yang berzakat. Tidak terbatas pada jenis makanan yang disebutkan di dalam hadits-hadits. Demikian pendapat yang paling benar dari para ulama, insya Allah. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau rahimahullah ditanya tentang zakat fithri : “Apakah dikeluarkan dalam bentuk kurma kering, anggur kering, bur (sejenis gandum), sya’ir (sejenis gandum), atau tepung?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Al-Hamdulillah. Jika penduduk suatu kota menggunakan salah satu dari jenis ini sebagai makanan pokok, maka tidak diragukan, mereka boleh mengeluarkan zakat fithri dari (jenis) makanan pokok (tersebut). Bolehkah mereka mengeluarkan makanan pokok dari selain itu? Seperti jika makanan pokok mereka padi dan dukhn (sejenis gandum), apakah mereka wajib mengeluarkan hinthah (sejenis gandum) atau sya’ir (sejenis gandum), ataukah cukup bagi mereka (mengeluarkan) padi, dukhn, atau semacamnya? (Dalam permasalahan ini), telah masyhur dikenal terjadinya perselisihan, dan keduanya diriwayatkan dari Imam Ahmad :
Pertama. Tidak mengeluarkan (untuk zakat fithri) kecuali (dengan jenis) yang disebutkan di dalam hadits.
Kedua. Mengeluarkan makanan pokoknya walaupun tidak termasuk dari jenis-jenis ini (yang disebutkan di dalam hadits). Ini merupakan pendapat mayoritas ulama –seperti Imam Syafi’i dan lainnya- dan inilah yang lebih benar dari pendapat-pendapat (ulama). Karena yang asal, dalam semua shadaqah adalah, diwajibkan untuk menolong orang-orang miskin, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu. –al Maidah/5 ayat 89-”.[15]
UKURANNYA
Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Dari Abu Sa’id Radhiyalahu ‘anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman Rasulullah n pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu Sa’id berkata,”Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju, dan kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510.
Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah [16], apakah satu sha’ seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah yang kedua, yaitu setengah sha’.
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ ثَعْلَبَةَ بْنُ صُعَيْرٍ الْعُذْرِيُّ خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ
“Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’ burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu sha’ kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas setiap satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua “[17].
Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat, maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai masalah ini, sebagai berikut:
1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).
Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Para ulama telah mencoba dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh) menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].
Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita -umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan beras sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.
TIDAK BOLEH DIGANTI DENGAN JENIS LAINNYA
Telah dijelaskan, zakat fithri dikeluarkan dalam wujud makanan pokok ditempat orang yang berzakat tersebut tinggal. Oleh karena itu, tidak boleh diganti dengan barang lainnya yang senilai dengannya, ataupun dengan uang!
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Kebanyakan ahli fiqih tidak membolehkan mengeluarkan dengan nilai, tetapi Abu Hanifah membolehkannya”. [Syarah Muslim].
Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi berkata: “Pendapat Abu Hanifah rahimahullah ini tertolak karena sesungguhnya “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” – Maryam/18 ayat 64-, maka seandainya nilai itu mencukupi, tentu telah dijelaskan oleh Allah dan RasulNya. Maka yang wajib ialah berhenti pada zhahir nash-nash dengan tanpa merubah dan mengartikan dengan makna lainnya”. [al Wajiiz, 230-231].[18]
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Zakat fithri wajib dikeluarkan dari jenis-jenis makanan (pokok, Pen), dan tidak menggantinya dengan uang, kecuali karena darurat (terpaksa). Karena, tidak ada dalil (yang menunjukkan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggantikan zakat fithri dengan uang. Bahkan juga tidak dinukilkan walaupun dari para sahabat, mengeluarkannya dengan uang” [19].
WAKTU MENGELUARKAN
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:
1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan, atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar ‘Idul Fithri.[20]
2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat fithri, yaitu fajar hari ‘Id, dengan kesepakatan empat madzhab.[21]
3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].
Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat : [22]
- Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : “Boleh maju setahun atau dua tahun”.
- Malik rahimahullah berpendapat : “Tidak boleh maju”.
- Syafi’iyah berpendapat : “Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan”.
- Hanabilah : “Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id”.
Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan perbuatan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan beliau adalah termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm . Nafi’ berkata:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu ‘Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri”. [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].
YANG BERHAK MENERIMA
Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.
1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur, dan pendapat Hanabilah.[23]
2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.
Asy Syaukani rahimahullah berkata,”Adapun tempat pembagian shadaqah fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Barangsiapa membayarnya sebelum shalat, maka itu merupakan zakat yang diterima,’ dan perkataan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithri. Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut. Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain.” [24]
Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Tempat pembagian shadaqah fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi, orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!’ Maka zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir, kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain mereka”.[26]
3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.[27]
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].
Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri:
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].
2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa), sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu orang miskin, wallahu a’lam.
3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :

“(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya.[28]
Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit. Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.
PANITIA ZAKAT FITHRI?
Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu adanya orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di antara keterangan yang menunjukkan hal ini.[30]
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].
2. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986]. Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.
Demikian sedikit pembahasan seputar zakat fithri. Semoga bermanfaat untuk kita. Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan, hlm: 101-107, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari.
2. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79-85, Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim.
3. Ta’liqat Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyah,1/548-555, Imam Shidiq Hasan Khan, ta’liq: Syaikh al Albani.
4. Al Wajiz fii Fiqhis-Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, halaman 229-231.
5. Minhajul Muslim, 230-232, Syaikh Abu Bakar al Jazairi.
6. Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/169-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi.
7. Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Penerbit Muassasah Aasaam, Cet. I, Th. 1416H/1996M.
8. Majmu’ Fatawa, 25/68-69, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
9. Taisirul Fiqh al Jami’ lil Ikhtiyarat al Fiqhiyyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, halaman 408-414, Syaikh Dr. Ahmad al Muwafi.
10. Minhajus Salikin, 107, Syaikh Abdurrahman as Sa’di.
11. Dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi (07-08)/Tahun X/1427/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 2/79.
[2]. HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827. Dihasankan oleh Syaikh al Albani.
[3]. Lihat Fat-hul Bari, 2/214, al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani; Ma’alimus Sunan, 2/214, Imam al Khaththabi; Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, halaman 101, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari.
[4]. Ijma’, karya Ibnul Mundzir, halaman 49. Dinukil dari Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80.
[5]. HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984.
[6]. Lihat Ta’liqat Radhiyah, 1/55-554; al Wajiz, 230; Minhajul Muslim, 299.
[7]. HR Bukhari, no. 1426; Ahmad, no. 7116; dan lain-lain. Lafazh ini milik Imam Ahmad.
[8]. Lihat Shahih Fiqhis Sunnah, 2/80-81.
[9]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 102.
[10]. Taisirul Fiqh, 74, karya beliau]???
[11]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 3/419; dan ‘Abdullah bin Ahmad dalam al Masail, no 644. Bahkan hal ini nampaknya merupakan kebiasaan Salafush-Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Abu Qilabah rahimahullah : “Mereka biasa memberikan shadaqah fithri, termasuk memberikan dari bayi di dalam kandungan”. (Riwayat Abdurrazaq, no. 5788).
[12]. Syarhul Mumti’, 6/162-163.
[13]. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/179-170, Syaikh Musthafa al ’Adawi; Syarhul Mumti’, 6/155-156, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin.
[14]. Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan : “Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/141), al Baihaqi (4/161), dari Ibnu ‘Umar dengan sanad yang dha’if (lemah). Juga diriwayatkan oleh al Baihaqi (4/161) dengan sanad lain dari Ali, tetapi sanadnya munqathi’ (terputus). Hadits ini juga memiliki jalan yang lain mauquf (berhenti) pada Ibnu ‘Umar (yakni ucapan sahabat, bukan sabda Nabi, Pen) diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al Mushannaf (4/37) dengan sanad yang shahih. Dengan jalan-jalan periwayatan ini, maka hadits ini merupakan (hadits) hasan”. (Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Ramadhan, hlm. 105).
[15]. Majmu’ Fatawa 25/68-69. Lihat juga Ikhtiyarat, 2/408; Minhajus Salikin, 107.
[16]. Hinthah atau qumh, yaitu sejenis gandum yang berkwalitas bagus.
[17]. HR Ahmad, 5/432. Semua perawinya terpercaya. Juga memiliki penguat pada riwayat Daruquthni, 2/151 dari Jabir dengan sanad shahih. Lihat catatan kaki kitab Sifat Shaum Nabi n fii Ramadhan, hlm. 105.
[18]. Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimin, al Fauzan, ‘Abdullah al Jibrin.
[19]. Minhajul Muslim, halaman 231.
[20]. Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76.
[21]. Ibid, 3/80.
[22]. Ibid, 3/75.
[23]. Ikhtiyarat, 2/412-413.
[24]. Dararil Mudhiyyah, halaman 140. Penerbit Muassasah ar Rayyan, Cet. II, Th. 1418H/1997M.
[25]. At Ta’liq t ar R dhiyyah, 1/555.
[26]. Minhajul Muslim, 231. Penerbit Makatabatul ‘Ulum wal Hikam & Darul Hadits, tanpa tahun; Taisirul Fiqh, 74.
[27]. Lihat asy Syarhul Kabir, 1/508; al Khurasyi 2/233. Dinukil dari Ikhtiyarat, 2/412-413.
[28]. Lihat Majmu Fatawa, 25/71-78.
[29]. Bahkan sebagian ulama berpendapat wajib dibagi untuk delapan golongan. Lihat Majmu Fatawa 25/71-78.
[30]. Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fii Ramadhan, halaman 106.

Sumber : http://almanhaj.or.id/content/3147/slash/0/tuntunan-zakat-fithri/   atau
http://blog.bursamuslim.com/tuntunan-zakat-fithri/

Minggu, 20 Mei 2012

Pengertian Akhlak

Kata akhlak disadur dari bahasa Arab dengan kosa al-khuluq yang berarti kejadian, budi pekerti dan tabiat dasar yang ada pada manusia.Setiap manusia dilahirkan dengan tabiat dasarnya yang dibawa dari Tuhan. Pada umumnya yang ahli di bidang ini memahami hal itu dari hadis Rasulullah saw:


عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ اِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ  اَوْ يُمَجِّسَانِهِ  اَوْ يُنَصِّرَانِهِ    رواه مسلم
“setiap manusia dilahirkan berdasarkan fitrahnya, lalu kedua orang tuanyalah yang mempengaruhinya menjadi Yahudi, Majusi dan Nasrani”. (HR. Muslim)

Kata fitrah pada hadis ini diartikan dengan agama Ilahi yang mengandung ajaran kebenaran dan kesucian. Ajaran inilah yang dibawa lahir oleh setiap umat manusia dan yang disebut sebagai tabiat dasarnya, sehingga setiap individu selalu cenderung kepada kebenaran dan kesucian serta benci kemaksiatan dan kezaliman. 

Dari akar  kata al-khuluq terbentuk kosakata al-akhlaq, al-khaliq dan al-makhluq. Al-khalaq adalah potensi yang tertanam di dalam jiwa seseorang yang mampu mendorongnya berbuat (baik dan buruk) tanpa didahului oleh pertimbangan akal dan emosi. Maksudnya ialah perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga menjadi kepribadian. Ahmad Amin dalam bukunya al-khalaq, mendefinisikan akhlak dengan kebiasaan seseorang. Atau kecenderungan hati atas suatu perbuatan dan telah berulang kali dilakukan sehingga mudah mengerjakannya tanpa terlebih dahulu banyak pertimbangan. 

Al-khaliq  adalah Tuhan yang menciptaka alam semesta, termasuk manusia. Dia bukan sekedar pencipta melaikan juga pemelihara dan pemberi semua kebutuhan ciptaanNya. 

Al-makhluq adalah semua alam semesta termasuk isinya yang diciptakan Allah. Dalam teologi Islam, alam ciptaan ini dijadikan sebagai argumen logis atas keberadaan (wujud) Allah. 

Pembentukan ketiga kata itu dari kosakata yang sama menunjukkan bahwa ketiganya bagaikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait dalam gerak kehidupan. Makhluk sangat membutuhkan hubungan baik dengan  Penciptanya. Tanpa kasih sayang Penciptanya dia tidak dapat hidup. Sedangkan akhlak merupakan jembatan penghubung antara Khaliq dengan makhlukNya dan antara makhluk dengan sesama makhluk

Sumber: Rahman Ritonga, Akhlak merakit hubungan dengan sesema manusia, Amelia Surabaya, 2005, hal. 7-8

Selasa, 15 Mei 2012

Kedudukan Do'a

Mengutip pendapat Abdul Razzaq ibn Abdil Mutab hsin Al-Badr dalam Kitab al-Dzikr wa al-Du'a fi Dhau al-Kiwa al-Sunnah, jika melihat ke dalam al-Qur'an dan Sunnah, kita akan mendapatkan keduduka do'a sebagai berikut: 
1. Do'a adalah sesuatu yang membedakan orang sombong dengan tidak sombong.
2. Allah Mahadekat, dan karenanya Dia pasti akan mengabulkan setiap orang yang berdo'a kepada-Nya.
3. Do'a adalah ibadah
4. Do'a adalah sesuatu yang mulia bagi Allah. 
5. Orang yang tidak pernah berdo'a akan mengundang murka Allah swt.

Itulah beberapa kedudukan do'a, marilah setiap hari hiasi hidup dengan do'a  agar Allah selalu bersama, membantu, menolong dan memberikan kita solusi yang terbaik bagi setiap langkah-langkah menuju shirathal mustaqim dan keridhaanNya. Karena tanpa bimbinganNya kita tidak mungkin selamat dari azab-azabNya. 

Sumber: Arif Munandar Riswanto, Doa Menghadapi Musibah, Jakarta: Mizania, hal. 29

Selasa, 13 Maret 2012

Ilustrasi Sejarah

Pada suatu waktu. Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik datang ke Madinah. Beliau ingin bertemu dengan Abu Hazim, yaitu satu-satunya sahabat Rasulullah saw. Yang masih hidup. Kepada Abu Hazim, Khalifah menanyakan tentang bagaimana keadaan seseorang itu pada waktu ia akan meninggal dunia. Maka Abu Hazim pun berkata : “Keadaan orang yang akan meninggal dunia itu ada dua macam. Pertama, seperti perantau yang dipanggil pulang ke kampong halamannya untuk menyaksikan hasil kirimannya yang sudah dibuatkan rumah yang bagus dengan taman yang indah. Foto mengenai semuanya itu telah dikirimkan kepadanya sebelum dia berangkat. Kita dapat bayangkan bagaimana sukacitanya perasaan sang perantau, tentu ia ingin segera mempercepat kepulangannya itu. Apalagi dikhabarkan pula kepadanya, bahwa kedatangannya nanti akan disambut oleh masyarakat dengan riang gembira sebagai perantau yang berhasil. Adapun keadaan yang kedua, adalah seperti penjahat yang lari dari penjara kemudian dia tertangkap kembali. Ia akan diseret, disiksa, dan dilemparkan dengan kejam ke tempatnya semula. Dapat dibayangkan, betapa takut dan ngerinya perasaan orang itu.”
Mendengar penjelasan Abu Hazim itu, kontan Khalifah menangis tersedu-sedu sambil berdoa dengan syahdu : ‘Ya Allah ! Janganlah Engkau jadikan aku di waktu kembali kepada-Mu seperti layaknya seorang penjahat yang melarikan diri kemudia tertangkap kembali’.
Kelompok pertama, menggambarkan orang-orang yang meyakini bahwa suatu waktu mereka akan kembali kepada Allah, mereka berusaha sekuat tenaga menyiapkan bekal yang banyak untuk perjalanan yang amat jauh di alam akhirat. Bekal itu ialah amal saleh dalam jalur hablum-minallah dan jalur hablum-minannas.
Kelompok kedua, mewakili orang-orang yang lalai menyiapkan perbekalan, umur dihabiskannya untuk memenuhi kepuasan hawa nafsu belaka. Mereka gigih mencari fasilitas demi memuaskan kebutuhan nafsu, seperti foya-foya dan mengumbar nafsu syahwat, memiliki rumah seperti istana dan mobil-mobil mewah yang kesemuanya itu hanya untuk prestise saja. Mereka mengukur kesuksesan hidup di dunia ini dari kehebatan fasilitas atau materi yang mereka miliki.
Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (Al-Baqarah: 212)
Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafir pun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Al-Baqarah: 126)
Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar. (An-Nuur:39)

sumber: http://renung.net/ilustrasi-sejarah/

Selasa, 14 Februari 2012

Valentine Menurut Islam

Nah diawal tahun tepatnya dibulan kedua masehi : Februari ada sebuah tanggal yang katanya hari kasih sayang atau hari valentine. Hari dimana sebagian manusia bumi ini merayakannya dengan suka cita. Namun tahukan anda sejarah valentine dan pandangan valentine menurut islam?


Dibawah ini ada kutipan yang membahas mengenai hari valentine menurut islam atau sudut pandang islam tentang valentine days


Oleh kerana itu Islam amat melarang kepercayaan yang membonceng(mendorong/mengikut) kepada suatu kepercayaan lain atau dalam Islam disebut Taqlid.


Hadis Rasulullah s.a.w:“ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”.
Firman Allah s.w.t. dalam Surah AL Imran (keluarga Imran) ayat 85 :“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.


HAL-HAL YANG HARUS DIBERI PERHATIAN:-


Dalam masalah Valentine itu perlu difahami secara mendalam terutama dari kaca mata agama kerana kehidupan kita tidak dapat lari atau lepas dari agama (Islam) sebagai pandangan hidup. Berikut ini beberapa hal yang harus difahami di dalam masalah 'Valentine Day'.




1. PRINSIP / DASAR
Valentine Day adalah suatu perayaan yang berdasarkan kepada pesta jamuan 'supercalis' bangsa Romawi kuno di mana setelah mereka masuk Agama Nasrani (kristian), maka berubah menjadi 'acara keagamaan' yang dikaitkan dengan kematian St. Valentine.




2. SUMBER ASASI
Valentine jelas-jelas bukan bersumber dari Islam, melainkan bersumber dari rekaan fikiran manusia yang diteruskan oleh pihak gereja. Oleh kerana itu lah , berpegang kepada akal rasional manusia semata-mata, tetapi jika tidak berdasarkan kepada Islam(Allah), maka ia akan tertolak.


Firman Allah swt dalam Surah Al Baqarah ayat 120 :“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.


Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemahuan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.




3. TUJUAN
Tujuan mencipta dan mengungkapkan rasa kasih sayang di persada bumi adalah baik. Tetapi bukan seminit untuk sehari dan sehari untuk setahun. Dan bukan pula bererti kita harus berkiblat kepada Valentine seolah-olah meninggikan ajaran lain di atas Islam. Islam diutuskan kepada umatnya dengan memerintahkan umatnya untuk berkasih sayang dan menjalinkan persaudaraan yang abadi di bawah naungan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bahkan Rasulullah s.a.w. bersabda :“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia cinta kepada saudaranya seperti cintanya kepada diri sendiri”.




4. OPERASIONAL
Pada umumnya acara Valentine Day diadakan dalam bentuk pesta pora dan huru-hara.
Perhatikanlah firman Allah s.w.t.:“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithon dan syaithon itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (Surah Al Isra : 27)


Surah Al-Anfal ayat 63 yang berbunyi : “…walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.




Sudah jelas ! Apapun alasannya, kita tidak dapat menerima kebudayaan import dari luar yang nyata-nyata bertentangan dengan keyakinan (akidah) kita. Janganlah kita mengotori akidah kita dengan dalih toleransi dan setia kawan. Kerana kalau dikata toleransi, Islamlah yang paling toleransi di dunia.




Sudah berapa jauhkah kita mengayunkan langkah mengelu-elukan(memuja-muja) Valentine Day ? Sudah semestinya kita menyedari sejak dini(saat ini), agar jangan sampai terperosok lebih jauh lagi. Tidak perlu kita irihati dan cemburu dengan upacara dan bentuk kasih sayang agama lain. Bukankah Allah itu Ar Rahman dan Ar Rohim. Bukan hanya sehari untuk setahun. Dan bukan pula dibungkus dengan hawa nafsu. Tetapi yang jelas kasih sayang di dalam Islam lebih luas dari semua itu. Bahkan Islam itu merupakan 'alternatif' terakhir setelah manusia gagal dengan sistem-sistem lain.




Lihatlah kebangkitan Islam!!! Lihatlah kerosakan-kerosakan yang ditampilkan oleh peradaban Barat baik dalam media massa, televisyen dan sebagainya. Karena sebenarnya Barat hanya mengenali perkara atau urusan yang bersifat materi. Hati mereka kosong dan mereka bagaikan 'robot' yang bernyawa.




MARI ISTIQOMAH (BERPEGANG TEGUH)
Perhatikanlah Firman Allah :
“…dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim”.




Semoga Allah memberikan kepada kita hidayahNya dan ketetapan hati untuk dapat istiqomah dengan Islam sehingga hati kita menerima kebenaran serta menjalankan ajarannya.


Tujuan dari semua itu adalah agar diri kita selalu taat sehingga dengan izin Allah s.w.t. kita dapat berjumpa dengan para Nabi baik Nabi Adam sampai Nabi Muhammad s.a.w.


Firman Allah s.w.t.:
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat dari golongan Nabi-Nabi, para shiddiq (benar imannya), syuhada, sholihin (orang-orang sholih), mereka itulah sebaik-baik teman”.




Berkata Peguam Zulkifli Nordin (peguam di Malaysia) di dalam kaset 'MURTAD' yang mafhumnya :-


"VALENTINE" adalah nama seorang paderi. Namanya Pedro St. Valentino. 14 Februari 1492 adalah hari kejatuhan Kerajaan Islam Sepanyol. Paderi ini umumkan atau isytiharkan hari tersebut sebagai hari 'kasih sayang' kerana pada nya Islam adalah ZALIM!!! Tumbangnya Kerajaan Islam Sepanyol dirayakan sebagai Hari Valentine. Semoga Anda Semua Ambil Pengajaran!!! Jadi.. mengapa kita ingin menyambut Hari Valentine ini kerana hari itu adalah hari jatuhnya kerajaan Islam kita di Sepanyol..


Demikianlah sudut pandang islam menanggapi valentine menurut islam, semoga kita sebagai muslim dapat mengambil kesimpulan dari pembahasan diatas. Amin 
Wallahu a'lam bis shawab


Sumber: http://d-niell.blogspot.com/2012/01/valentine-menurut-islam.html

Sejarah Hari Valentine

Perayaan hari Valentine termasuk salah satu hari raya bangsa Romawi paganis (penyembah berhala), di mana penyembahan berhala adalah agama mereka semenjak lebih dari 17 abad silam. Perayaan valentin tersebut merupakan ungkapan dalam agama paganis Romawi kecintaan terhadap sesembahan mereka.


Perayaan Valentine's Day memiliki akar sejarah berupa beberapa kisah yang turun-temurun pada bangsa Romawi dan kaum Nasrani pewaris mereka. Kisah yang paling masyhur tentang asal-muasalnya adalah bahwa bangsa Romawi dahulu meyakini bahwa Romulus (pendiri kota Roma) disusui oleh seekor serigala betina, sehingga serigala itu memberinya kekuatan fisik dan kecerdasan pikiran. Bangsa Romawi memperingati peristiwa ini pada pertengahan bulan Februari setiap tahun dengan peringatan yang megah. Di antara ritualnya adalah menyembelih seekor anjing dan kambing betina, lalu dilumurkan darahnya kepada dua pemuda yang kuat fisiknya. Kemudian keduanya mencuci darah itu dengan susu. Setelah itu dimulailah pawai besar dengan kedua pemuda tadi di depan rombongan. Keduanya membawa dua potong kulit yang mereka gunakan untuk melumuri segala sesuatu yang mereka jumpai. Para wanita Romawi sengaja menghadap kepada lumuran itu dengan senang hati, karena meyakini dengan itu mereka akan dikaruniai kesuburan dan melahirkan dengan mudah.


Sejarah hari valentine I :
Menurut tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera. Tahu gak dewa Zeus? itu bokap-nye hercules.


Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai ritual penyucian, para pendeta Lupercus meyembahkan korban kambing kepada dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan berlari-lari di jalanan kota Roma sambil membawa potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai dijalan. Sebagian ahli sejarah mengatakan ini sebagai salah satu sebab cikal bakal hari valentine.


Sejarah Valentine's Day II :
Menurut Ensiklopedi Katolik, nama Valentinus diduga bisa merujuk pada tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda yaitu dibawah ini:


  • pastur di Roma
  • uskup Interamna (modern Terni)
  • martir di provinsi Romawi Afrika.
Hubungan antara ketiga martir ini dengan hari raya kasih sayang (valentine) tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.


Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti dari emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada tahun 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine (14 Februari), di mana peti dari emas diarak dalam sebuah prosesi dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu dilakukan sebuah misa yang khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.


Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santo yang asal-muasalnya tidak jelas, meragukan dan hanya berbasis pada legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada paroki-paroki tertentu.


Sejarah hari valentine III :


 Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sastrawan Inggris Pertengahan bernama Geoffrey Chaucer. Ia menulis di cerita Parlement of Foules (Percakapan Burung-Burung) bahwa:


For this was sent on Seynt Valentyne's day (Bahwa inilah dikirim pada hari Santo Valentinus) Whan every foul cometh ther to choose his mate (Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya)


Pada jaman itu bagi para pencinta sudah lazim untuk bertukaran catatan pada hari valentine dan memanggil pasangan Valentine mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi naskah British Library di London. Kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai santo Valentinus diciptakan pada jaman ini. Beberapa di antaranya bercerita bahwa:


  • Sore hari sebelum santo Valentinus akan mati sebagai martir (mati syahid), ia telah menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis "Dari Valentinusmu".
  • Ketika serdadu Romawi dilarang menikah oleh Kaisar Claudius II, santo Valentinus secara rahasia membantu menikahkan mereka diam-diam.
Pada kebanyakan versi legenda-legenda ini, 14 Februari dihubungkan dengan keguguran sebagai martir.


Sejarah Valentines Day IV :
Kisah St. Valentine


Valentine adalah seorang pendeta yang hidup di Roma pada abad ke-III. Ia hidup di kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Claudius yang terkenal kejam. Ia sangat membenci kaisar tersebut. Claudius berambisi memiliki pasukan militer yang besar, ia ingin semua pria di kerajaannya bergabung di dalamya.


Namun sayangnya keinginan ini tidak didukung. Para pria enggan terlibat dalam peperangan. Karena mereka tak ingin meninggalkan keluarga dan kekasih hatinya. Hal ini membuat Claudius marah, dia segera memerintahkan pejabatnya untuk melakukan sebuah ide gila.


Claudius berfikir bahwa jika pria tidak menikah, mereka akan senang hati bergabung dengan militer. Lalu Claudius melarang adanya pernikahan. Pasangan muda saat itu menganggap keputusan ini sangat tidak masuk akal. Karenanya St. Valentine menolak untuk melaksanakannya.


St. Valentine tetap melaksanakan tugasnya sebagai pendeta, yaitu menikahkan para pasangan yang tengah jatuh cinta meskipun secara rahasia. Aksi ini akhirnya diketahui oleh kaisar yang segera memberinya peringatan, namun ia tidak menggubris dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang hanya diterangi cahaya lilin.


Sampai pada suatu malam, ia tertangkap basah memberkati salah satu pasangan. Pasangan tersebut berhasil melarikan diri, namun malang St. Valentine tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis hukuman mati dengan dipenggal kepalanya. Bukannya dihina oleh orang-orang, St. Valentine malah dikunjungi banyak orang yang mendukung aksinya itu. Mereka melemparkan bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara dimana dia ditahan.


Salah satu dari orang-orang yang percaya pada cinta kasih itu adalah putri penjaga penjara sendiri. Sang ayah mengijinkan putrinya untuk mengunjungi St. Valentine. Tak jarang mereka berbicara lama sekali. Gadis itu menumbuhkan kembali semangat sang pendeta. Ia setuju bahwa St. Valentine telah melakukan hal yang benar alias benul eh betul.


Pada hari saat ia dipenggal alias dipancung kepalanya, yakni tanggal 14 Februari gak tahu tahun berapa, St. Valentine menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan untuk gadis putri sipir penjara tadi, ia menuliskan Dengan Cinta dari Valentinemu.


Pesan itulah yang kemudian mengubah segalanya. Kini setiap tanggal 14 Februari orang di berbagai belahan dunia merayakannya sebagai hari kasih sayang. Orang-orang yang merayakan hari itu mengingat St. Valentine sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai seseorang yang berusaha mengenyahkan cinta.


Kesimpulan:


Dari semua asal usul atau sejarah diatas bisa disimpulkan bahwa "hari valentin memiliki latar belakang yang tidak jelas sama-sekali", baik dari ceritanya maupun waktu terjadinya (perhatikan abad terjadinya sejarah diatas walaupun ada nama tokoh yang sama).




Sumber: http://ugiq.blogspot.com/2010/01/sejarah-hari-valentine-mitos-valentine.html

Jumat, 10 Februari 2012

Cendekiawan Muslim

Berikut merupakan tokoh-tokoh mulism yang berperan penting dalam sejarah dunia, jejak langkah mereka yang positif ini perlu kita teladani.
  1. Abdul Rahman al-Sufi: Ahli ilmu perbintangan, penulis buku astronomi berilustrasi paling tua. 
  2. Abu Barakat al-Baladi: Tabib spesialis pengkritik sengit Ibnu Sina
  3. Abu Mansur al-Bagdadi: Raja Aritmatika dan matematika faraid. 
  4. Abu Ma'shar al-Balkhi: Astronom astrolog dan saintis pertama yang menyanggah Aristoteles. 
  5. Ahmad bin Tulun: "Ulil Albab" Produktif dan pendiri kemaharajaan Tulun yang anti kolusi. 
  6. Al-Balkhi: "Ayatullah" geografi, pendiri institusi geografi kontemporer. 
  7. Al-Dinawari: Intelektual "plus" yang menguasai ilmu-ilmu botani, astronomi dan matematika. 
  8. Al-Farisi: Santri terbaik Nasiruddin Tusi, pengarang karya-karya optik paling impresif. 
  9. Al-Ghafiki: "Pendekar" paranormal supernatural sekaligus oftalmolog. 
  10. Al-Halabi: Teoritisi dan praktisi kedokteran mata dengan diagnosa-diagnosa jitu. 
  11. Ali bin Abbas: Dokter bedah dengan karya legendaris "Liber Regelis". Reputasinya sejajar dengan Ibnu Sina dan Ar-Razi. 
  12. Al-Istakhri: Pengelana intelektual dan penulis buku-buku geografi yang perfeksionis. 
  13. Al-Jaghmini: "Resi" astronomi dan "Begawan" kedokteran. 
  14. Al-Jahiz: Biolog, teolog dan poligraf "posmo" pengeksplorasi ilmu-ilmu "baru". 
  15. Al-jurjani: Dokter-filsof penyusun ensiklopedi kedokteran pertama. 

Sumber: M.Natsir Arsyad, Cendekiawan Muslim dari Khalili sampai Habibie, Jakarta: SriGunting, cet. III, 2000

(insya Allah di lain kesempatan akan dilanjut)